TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Belakangan ini, dunia kuliner Yogyakarta diserbu restoran yang menyajikan menu masakan impor. Beberapa di antaranya bahkan lebih spesifik menyajikan menu ala negara tertentu, misalnya Jepang, Korea dan Thailand.
Tak hanya menawarkan cita rasa baru bidang kuliner yang mungkin selama ini belum ada, restoran-restoran ini pun ditata dengan konsep apik, jauh dari kesan fusion. Justru, restoran ini hadir dengan menonjolkan kesan modern dan bergaya anak muda yang lekat dengan pop culture (budaya pop).
Di tengah menu lokal yang terlanjur melegenda karena cita rasa dan harganya yang relatif lebih murah, pengelola restoran ini bersaing untuk memperebutkan pasar pecinta kuliner Yogyakarta yang selama ini di dominasi kalangan pelajar, mahasiswa dan pekerja kantoran.
Menu-menu yang disajikan di restoran ini dibanderol dengan rentang harga puluhan hingga ratusan ribu rupiah. Dengan rentang harga tersebut, segmen yang dibidik pemain restoran ini adalah kelas midle up atau kalangan menengah ke atas.
Gampang-gampang susah adalah jawaban yang diberikan pengelola restoran ini ketika ditanya bagaimana mempertahankan kelangsungan operasional restoran mereka agar mampu bertahan dan sanggup bersaing dengan kompetitor lain.
"Ini Yogya, memang asumsi Yogya itu serba murah. Pertamakali buka enam tahun lalu, anggapan resto ini ngga akan bertahan lama memang sempat muncul. Tapi, kita bilang nggak, dan kita memang mau ambil segmen ini (midle up). Toh sampai saat ini yang tradisional juga masih jalan kan," ujar Syahrial Salman, GM R & B Grill saat ditemui di R & B Grill, Kamis (27/3/2014).
Syahrial pun berbagi rahasia bagaimana ia sukses mengelola restoran yang fokus menyajikan berbagai macam steak ala Amerika ini. Salah satu motivasi dibukanya resto ini menurut Syahrial adalah lantaran Yogyakarta sebagai destinasi wisata utama ke tiga setelah Bali dan Lombok, idealnya memiliki variasi kuliner dengan cita rasa tinggi dan berkelas premium untuk memenuhi kebutuhan pasar.
"Motivasinya nggak hanya ingin menghadirkan pilihan kuliner berkelas premium dengan harga yang kita sesuaikan. Kita ingin meningkatkan quality kuliner di Yogya. Kita sisipi unsur edukasi. Misalnya, dulu orang tahunya makan steak sayurannya cuma kacang polong, wortel dan buncis aja. Kalau di sini, mulai dari daging, sayuran, saus bisa milih sendiri. Ada 12 macam sayuran segar, 12 kentang dan 6 saus yang disediakan," terang pria yang berlatar belakang chef ini penuh semangat.
Secara bisnis, Syahrial pun dengan detail memperhitungkan pangsa pasarnya. Awal berdiri, ia mengaku hanya butuh 20 pengunjung saja setiap harinya agar menutup biaya operasional resto yang terletak di Jalan R.W Monginsidi ini.
"Untuk awal, saya nggak perlu banyak orang datang, yang penting 20 aja, misalnya seorang Rp 200 ribu kan sudah Rp 4 juta. Saat ini, kalau di average, pengunjung setiap hari sekitar 100 orang," ungkapnya.
Menu yang disajikan restoran ini sebenarnya beragam, tak hanya steak. Harganya pun mulai dari puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah. Misalnya saja Tenderloin per 200 gramnya dibanderol Rp 127 ribu, Strip Loin Rp 98 ribu dan Rib Eye Rp 105 ribu.
"Tamu bebas memesan sesuai kebutuhan, misalnya untuk berbagai macam steak, nggak habis 200 gram, boleh pesan 100 gram dan cuma kita tambahin coocking pay Rp 40 ribu saja, untuk daging steak dengan kualitas premium ya. Itu contohnya, kalau mau menu yang harganya bisa sampai ratusan ribu ada juga, semua tergantung kebutuhan masing-masing," jelas Syahrial.
Meskipun kini restoran ini terbilang sukses dan menjadi ikon steak kelas premium di Yogyakarta, manajemen R & B Grill sementara ini belum membuka gerai baru di kota lain.
"Kita ngga buka franchise, banyak resto baru buka, udah franchise. Sudah ngitung labanya sekian. Buka nya itu gampang, tapi maintenence-nya yang susah," tandasnya.
Secara konsep, restoran yang dikelola Syahrial ini cukup unik. Selain setiap hari menyajikan pertunjukkan live music jazz, restoran yang setiap hari buka dari jam 11 siang hingga jam 11 malam ini, dindingnya terpampang foto puluhan aktris, aktor dan musisi dunia, yang sanggup membuat atmosfer old school bercampur modern hadir di restoran ini.
Restoran lain yang menyajikan menu impor dari negara lain adalah Michigo. Restoran fast food ini menghadirkan menu ala Korea yang belakangan lekat dengan budaya K-Popnya. Tampilan restoran yang saat ini sudah membuka dua gerainya di Yogya ini, sengaja dibuat dan terinspirasi oleh booming-nya K-Pop di tanah air.
"Basic-nya kita lihat perkembangan K-Pop di Yogya bagus. Kita memang angkat budaya urban, bukan hanya fusion. Kita adopsi fast food seperti di Korea, bergaya old school. Konsep seperti ini belum pernah ada di Yogya. Bahkan banyak yang menyangka kita adalah waralaba dari luar Yogya, padahal justru idenya dari putra daerah, ya dariYogya," ungkap
Benicditus Yulianto, Area Manager Michigo Indonesia.
Meski belum genap setahun berdiri, Beni mengaku sangat optimis akan masa depan restoran Korea ini. Diakuinya juga, restoran yang dikelolanya ini memang segmented. Namun, justru karena itulah disebutnya mudah untuk mengakomodir pasar.
"Kami sangat optimis, ini fresh konsep. Memang segmented, tapi malah gampang kita direct. Sementara ini ada dua gerai di Jogja, di Jalan Colombo dan di Ambarukmo Plaza. Kedepan kami akan membuka 3 gerai lagi di Jakarta dan memang arahnya ke waralaba," kata Beni.
Setelah berjalan kurang lebih selama 8 bulan, Beni mengaku baru bisa menghitung rata-rata kunjungan setelah bulan ke 3 atau ke 4.
"Awalnya memang booming 1-2 bulan pertama. Itu karena karakter konsumen di Yogya memang di awal buka, banyak yang ingin mencicipi seperti apa rasanya. Bulan ketiga baru tahu average target kita. Kalau 1-2 bulan baru bisa melihat sejauh mana ketertarikan pada kuliner baru yang kita hadirkan," imbuh Beni. (yud)
Skandal Kuliner Terkait :
Bakpia Tidak Asli Merajalela di 7 Titik Penting di Yogya