TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Dingin menyergap kehidupan malam di Yogyakarta, Kamis (6/3/2014) pekan lalu. Sekitar pukul 19.30 di seputaran simpang empat Sagan, pendar udara yang terkontaminasi racun asap kendaraan bermotor tak cukup membuat suasana menjadi lebih hangat.
Ketika sebagian orang terlambat pulang kemudian beradu cepat sampai rumah untuk segera beringsut ke ranjang, di perempatan Sagan sisi timur SPBU tersebut masih saja terlihat anak anak bersendagurau sembari berkejaran di trotoar.
Beberapa di antara mereka sesekali menghilang di antara kerumunan pengendara yang berhenti karena lampu menyala merah. Selang beberapa menit, satu atau dua anak muncul dari hiruk pikuk kendaraan bermotor, menepi dengan kedua tangan menggenggap plastik berisi uang recehan.
Tribun Jogja sempat memperhatikan pemandangan itu. Seorang anak berkaus dan celana pendek seadanya tanpa jaket membawa recehan itu kepada seseorang di sudut gelap jalan tersebut. Begitu kembali ke jalanan, uang receh itu tidak lagi ada di genggamannya.
Inilah sepenggal pemandangan anak anak di satu ruas jalanan di Yogyakarta. Mereka tidak sendiri. Beberapa diduga tidak lepas dari keberadaan orangtua dan saudara yang selalu mendampingi.
Sebagaimana terjadi di simpang empat Sagan, beberapa dari mereka bahkan tidak pulang dan bermalam tidak jauh dari lokasi itu. Tentu sudah menjadi pemandangan lama terpampang, di tanah kosong sudut jalan di sisi timur SPBU itu terdapat semacam bangunan terbuat dari papan dan tempelan spanduk.
Gubuk liar
Berada di antara rerimbun tanaman dan rumput liar, bangunan seadanya itu menjadi tempat yang dianggap nyaman dan tidak begitu tampak jika dilihat dari jalan raya. Seorang perempuan yang kerap mangkal di tempat tersebut mengatakan, setidaknya ada 15 orang yang kerap bermalam di rumah serupa gubuk itu, termasuk dirinya.
Beberapa orang dewasa, sejumlah kecil masih anak anak. Dua di antara anak anak itu adalah Laras dan Teguh. Kamis malam itu keduanya juga terlihat berada di antara anak anak lainnya di simpang empat Sagan.
Seperti halnya kebiasaan beberapa orang dewasa penghuni bangunan tenda itu, anak anak pun kerap mengamen dan meminta minta dari pengendara di lampu merah. Perempuan yang enggan disebut namanya itu bahkan mengatakan, Laras meski masih duduk di sekolah dasar sudah pintar mencari uang.
Menurutnya, pagi sekolah, jelang sore hingga malam anak perempuan itu turun ke jalan untuk mengais receh dari pengendara. Pemandangan seperti di simpang Sagan ini juga kerap terlihat di beberapa persimpangan lainnya di Yogyakarta.
Jumlah ratusan
Pantauan Tribun Jogja, mereka juga terlihat di simpang UGM Jalan Kaliurang, Jalab Solo dekat UIN Sunan Kalijaga, perempatan Gramedia, kawasan Malioboro dan kawasan Titik Nol Kilometer, dan beberapa persimpangan lain termasuk emperan pusat perbelanjaan. Jumlah mereka ratusan dan selalu berpindah pindah.
Keberadaan orang orang di jalanan yang kerap disebut gelandangan, pengemis (gepeng) dan anak jalanan itu memang merupakan problem yang sedang berusaha diselesaikan Pemerintah Yogyakarta. Pada 2011, Pemda DIY mengeluarkan Perda Perlindungan Anak Jalanan. Namun realisasi aturan itu dipandang belum begitu maksimal.
"Yang kerap terjadi hanya razia, terakhir sebulan lalu. Kalau tertangkap ya ditampung di panti, kemudian dilepas. Pulangnya kami malah disuruh jalan sendiri, ya kembali ke jalan," ujar perempuan yang mengaku asli Semarang itu.
Para pemangku kewenangan menyebut masalah gepeng dan anak jalanan sangat kompleks. Tahun ini, Pemda DIY bahkan akan memiliki Perda Penanganan Gepeng. Salah satu ketentuan yang diatur, setiap orang atau lembaga atau badan hukum dilarang memberikan uang dan atau barang dalam bentuk apapun kepada gelandangan dan pengemis di tempat umum.
Pelanggar aturan ini diancam hukuman pidana kurungan maksimal 10 hari atau denda maksimal Rp 1 juta. Sanksi juga akan diterapkan bagi gelandangan dan pengemis serta pihak yang mengelola gepeng.
Orang yang mengemis atau menggelandang diancam hukuman kurungan enam minggu atau denda maksimal Rp 10 juta, penggelandangan atau pengemisan berkelompok dikenai hukuman kurungan tiga bulan atau denda maksimal Rp 20 juta.
Sementara, orang yang memperalat orang lain untuk mengemis dan menggelandang dianggap sebagai pelaku trafficking (penjualan manusia), diancam hukuman setahun penjara dan denda Rp 50 juta.
Orang yang mengajak, membujuk, membantu, menyuruh, memaksa, dan mengoordinir orang lain secara perorangan atau berkelompok untuk mengemis atau menggelandang dikenai hukuman penjara enam bulan atau denda maksimal Rp 40 juta.
Respon jalanan
Sebelum benar benar diterapkan, aturan itu mengundang reaksi beragam dari banyak kalangan, termasuk mereka yang kerap disebut gepeng, dan anak jalanan. Kalangan waria yang kerap berkeliling mengamen di Kota Yogyakarta pun tidak jauh berbeda.
Meski mengapresiasi upaya pemerintah, namun secara keseluruhan mereka menyimpan banyak pertanyaan. Waria yang juga sering mampir di simpang empat Sagan, Inul, mengatakan keberadaan gepeng dan anak jalanan harus dilihat dari faktor faktor penyebabnya.
Mereka berada di jalanan karena memiliki latar belakang ekonomi dan sosial yang rumit. Beberapa karena kemiskinan, ada pula yang mengalami kekerasan di lingkungan keluarga, tidak luput juga mereka turun ke jalan karena korban keretakan rumah tangga.
"Kalau sekadar melarang kami di jalan, lalu kami makan apa? Kami semua tentu protes, bukan karena tidak setuju, tapi apa solusi dari pemerintah? Lihat saja, anak anak ini juga akan tersenyum ketika mendapat uang," kata Inul, ditemui di simpang empat Sagan, Jumat (6/3) siang.
Jika karena Perda itu kemudian semakin banyak garukan atau razia, menurutnya, para gepeng dan anak jalanan akan semakin pintar menghindar. Seperti yang terjadi selama ini, antara aparat penegak Perda dan gepeng serta anak jalanan pun 'kucing kucingan'.
Dia menjelaskan, sebagian gepeng dan anak jalanan menghindar karena takut. Sebagian lainnya, menurutnya, kabur bukan karena takut tetapi enggan menjadi repot.
"Kalau ada aturan kemudian dirazia lalu dihukum atau denda, tapi apa solusinya agar kami bisa makan saat ini juga? Kasihan dong yang bawa anak anak. Orang dewasa bisa menahan lapar, tapi anak anak akan merengek. Kami akan protes dalam waktu dekat ini," tuturnya.(ose/Tribun Jogja cetak)
Skandal Kuliner Terkait :
Bakpia Tidak Asli Merajalela di 7 Titik Penting di Yogya
Anda sedang membaca artikel tentang
Anak Jalanan Perlu Solusi Bukan Sekedar Regulasi
Dengan url
http://jogyamalioboro.blogspot.com/2014/03/anak-jalanan-perlu-solusi-bukan-sekedar.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Anak Jalanan Perlu Solusi Bukan Sekedar Regulasi
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Anak Jalanan Perlu Solusi Bukan Sekedar Regulasi
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar