Kelenteng Tua Berusia 150 Tahun Itu Ludes Dilalap Api

Written By Unknown on Kamis, 17 Juli 2014 | 11.22

Sejumlah sesaji berupa buah-buahan, dupa, dan lilin diletakkan di sebuah meja kecil di halaman depan Tempat Ibadah Tri Dharma (TITD) Liong Hok Bio yang terbakar, Rabu (16/7) dini hari. Sementara itu, puluhan umat menggelar ritual dan doa memohon keselamatan, maaf, dan ketabahan atas kebakaran yang menghanguskan bangunan utama yang didirikan tanggal 8 Juli 1864, di Jalan Alun-alun Selatan nomor 2, Kota Magelang itu.

TRIBUNJOGJA.COM, MAGELANG - RAPALAN doa diucapkan oleh segenap umat Konghucu, Budha, dan Tao di Kota Magelang, kemarin pagi. Akibat kebakaran itu, Kota Magelang juga ikut berduka akan hilangnya bangunan cagar budaya dan tempat ibadah bersejarah tersebut. Bangunan ini, melengkapi beberapa tempat peribadatan bersejarah seperti gereja dan masjid di Kota Getuk tersebut.

Sebagai ungkapan duka yang cukup mendalam, umat menggelar sembahyang permintaan maaf pada Dewa-Dewa di halaman depan altar yang terbakar. Sejumlah barang sembahyang, seperti dupa, kertas emas, buah-buahan, dan kelapa muda disajikan.

Di akhir ritual, mereka membakar kertas emas besar (tua kim) yang diyakini dapat mengirimkan doa ke langit. Beberapa wajah umat juga terlihat sedih dan kaget dengan peristiwa itu. Sebab, tempat sakral dan suci mereka kini tinggal menjadi puing arang dan abu.

Ketua Yayasan Tri Bhakti, Paul Chandra Wesi Aji mengungkapkan, para umat merasa terpukul atas kejadian ini. Menurut Paul, bangunan yang masuk cagar budaya ini baru kali pertama ini terbakar. Untuk pemugaran pun baru dilakukan sekali, yakni di tahun 1984 dan bertahan sampai sekarang dengan bentuk yang tidak berubah dari awal berdiri.

"Kami memang berencana merenovasi bangunan ini dan sudah dikomunikasikan ke Pemkot Magelang. Tapi, rencana itu belum terlaksana sampai sekarang genap berusia 150 tahun," kata Paul.

Paul melanjutkan, sebelumnya umat akan berpindah ke bangunan kelenteng yang baru, yang letaknya di belakang persis bangunan kelenteng yang lama. Umat juga menggelar upacara sio pea tau upacara pemindahan ke bangunan kelenteng yang baru selama dua kali. Namun, dari upacara ini, dewa bumi, ujar Paul belum bersedia untuk pindah.

"Hari ini, kami sembahyang meminta ampun pada Dewa. Kami juga minta diberi kekuatan dalam menghadapi ini dan diharap ke depan dapat diberi keamanan dan kelancaran dalam setiap tindakan," papar Paul.

Sementara untuk tempat ibadat sementara, Paul mengaku hingga saat ini pihaknya belum dapat memastikan bagaimana prosesi ibadah umat pasca-kebakaran tersebut. Menurutnya, bangunan kelenteng yang baru saja selesai dibangun tepat di belakang altar kelenteng yang terbakar belum dapat digunakan.

"Sementara ini kami akan rapat membahas hal itu, kami belum tahu akan sembahyang dimana setelah kebakaran ini," imbuhnya.

Dari dugaan sementara, bangunan terbakar, karena diduga bersumber dari dupa atau hio, dan lilin yang masih menyala. Belasan patung atau rupang beserta barang lainnya di altar utama terbakar, termasuk lima patung yang asli berasal dari negeri Tiongkok ludes terbakar.

Koordinator KTM Bagus Priyana mengaku sangat terpukul dan prihatin dengan peristiwa kebakaran di bangunan cagar budaya ini. Sejauh ini, ujar Bagus, kelenteng ini menjadi ikon komunitas Tionghoa di Kota Magelang.

Selain itu juga sebagai titik pusat kegiatan adat-budaya, tempat ibadah, dan kegiatan positif lainnya para warga Tionghoa. Keberadaan kelenteng ini pun tidak lepas dari tatanan kota yang terdiri dari alun-alun, masjid agung, kantor pos, dan kelenteng.

Berdasarkan cerita dan referensi yang dimilikinya, kelenteng ini erat kaitannya dengan jejak sejarah Pangeran Diponegoro. Hal itu terjadi sekitar tahun 1740 terjadi kerusuhan yang melibatkan warga Tionghoa di Jakarta. Kerusuhan bernama "Geger Pecinan" itu membuat warga Tionghoa di Jakarta lari ke luar kota, seperti Solo dan Rembang.

Geger Pecinan juga terjadi di Solo, dimana akibat kerusuhan ini memaksa warga Tionghoa lari ke Kutoarjo. Di Kutoarjo terjadi kerusuhan lagi, yakni perang Diponegoro yang memaksa warga Tionghoa lari ke arah utara menembus perbukitan Menoreh dan masuk Magelang.

"Sampai di Magelang, mereka mendirikan tempat ibadah di daerah Ngarakan Kelurahan Kemirirejo Kota Magelang. Lalu, berkat kemurahan hati Kapten Bhe Tjok Lok yang mewakafkan tanahnya di sekitar alun-alun, maka kelenteng pun pindah di atas tanah hibah tersebut," jelas Bagus.

Menurut Bagus, kelenteng yang terbakar inilah tempat ibadah yang didirikan waktu itu. Dari awal berdiri sampai sekarang terbakar, tentu memiliki catatan sejarah panjang. Karena bernilai sejarah tinggi, Bagus berharap kelenteng dapat dibangun lagi setelah kebakaran ini dengan bentuk yang sama persis dengan aslinya.

"Harus ada konsultasi dengan BPCB jika akan ada rekontruksi. Saya berharap bangunan asli kelenteng dapat dipertahankan karena melihat sisi sejarah dan nilainya," tandasnya. (agung ismiyanto)


Anda sedang membaca artikel tentang

Kelenteng Tua Berusia 150 Tahun Itu Ludes Dilalap Api

Dengan url

http://jogyamalioboro.blogspot.com/2014/07/kelenteng-tua-berusia-150-tahun-itu.html

Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya

Kelenteng Tua Berusia 150 Tahun Itu Ludes Dilalap Api

namun jangan lupa untuk meletakkan link

Kelenteng Tua Berusia 150 Tahun Itu Ludes Dilalap Api

sebagai sumbernya

0 komentar:

Posting Komentar

techieblogger.com Techie Blogger Techie Blogger