Laporan Reporter Tribun Jogja, Niti Bayu Indrakista
TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Kekayaan budaya suku-suku yang tersebar dari Sabang hingga Merauke rupanya memiliki daya tarik tersendiri bagi para peneliti asal negeri Belanda. Sejak zaman kolonial hingga masa kini, telah banyak penelitian terhadap suku dan kebudayaan di Nusantara yang dilakukan oleh para cerdik cendekia dari Belanda, yang kemudian dipublikasikan. Perpustakaan Karta Pustaka hadir sejak 1968 untuk memelihara sebagian hasil "dokumentasi" tersebut.
Pada sebuah bangunan sederhana di Jl Suryodiningratan 37 B, Yogyakarta, tersimpan sekitar 9500 koleksi buku dan majalah kebudayaan Indonesia dan Belanda. Perpustakaan Yayasan Karta Pustaka menyimpan berbagai literatur bertemakan kebudayaan, mulai dari seni, arkeologi, arsitektur, hingga aspek-aspek lain seperti pertanian dan tata kota.
Menurut Direktur Karta Pustaka, Anggi Minarni, pihaknya bekerja sama dengan Kedutaan Belanda di Indonesia untuk mengadakan dan memperbarui koleksi-koleksi tersebut, terutama literatur dari Negeri Kincir Angin.
Menurut Anggi, ketertarikan para peneliti asal Belanda terhadap kekayaan budaya bangsa Indonesia begitu besar. "Indonesia adalah objek studi kebudayaan yang sangat menarik," ujarnya saat ditemui Tribun di ruang kerjanya, Kamis (30/1).
Interaksi panjang antara dua bangsa yang terpisah jarak sekitar 11 ribu kilometer tersebut menimbulkan kedekatan dan ketertarikan tersendiri. "Dokumentasi" berupa hasil penelitian terhadap kebudayaan Nusantara dilakukan secara baik, telaten, dan teliti oleh para akademisi Belanda.
Anggi memberi contoh totalitas tersebut. Ia menceritakan, pernah ada peneliti asal Belanda yang meneliti kain tenun Batak selama 30 tahun. Kemudian, hasil penelitian tersebut tidak lantas bisa dinikmati kalangan luas. Pasalnya, sang peneliti masih memerlukan waktu lama untuk pengumpulan dana agar karyanya itu bisa dipublikasikan. Satu salinan publikasi setebal 600 halaman tersebut, kata Anggi, kini tersimpan di Perpustakaan Karta Pustaka.
Pada sisi timur bangunan, terdapat tiga ruang yang digunakan untuk menyimpan ribuan koleksi "dokumentasi" budaya tersebut. Satu ruang untuk menyimpan buku ensiklopeda dan referensi yang hanya bisa dibaca di tempat. Sementara dua ruang lain menyimpan buku dan novel yang bisa dipinjam oleh sekitar 1000 anggota aktif Perpustakaan Karta Pustaka.
Ia melanjutkan, ketertarikan akademisi Negeri Tulip terhadap Indonesia juga mencakup berbagai aspek. Misalnya mengenai perkembangan berbagai kota besar di Indonesia, situasi politik masa Orde Baru, kekayaan sumber daya alam, arsitektur rumah tradisional, serta motif batik khas berbagai daerah.
"Harus diakui, dokumentasi seperti itu yang berasal dari peneliti lokal saat ini masih kurang," ujar Anggi.
Ia mengakui, pada masa lalu memang terjadi sejumlah penjarahan terhadap kekayaan sejarah dan budaya Nusantara oleh pemerintah Kolonial Belanda. Namun di sisi lain, dokumentasi, pendataan, dan analisis mereka terhadap kebudayaan di Zamrud Khatulistiwa juga sangat kaya. "Jika ingin tahu lebih banyak dan lebih dalam soal kebudayaan kita, bisa melirik sejenak hasil kerja para ilmuwan Belanda," tambahnya.
Lambang Pistol Untuk Novel Detektif
Selain literatur dari Belanda, Perpustakaan Karta Pustaka juga memperkaya dirinya dengan karya dalam negeri. Berbagai buku pemikiran para tokoh seperti Cak Nur dan Kuntowijoyo, misalnya. Ada pula buku-buku biografi. "Selama sesuai dengan tema kebudayaan, bisa kami terima," ujar Anggi.
Uniknya, perpustakaan tersebut masih mempertahankan sebuah gaya pustaka lama, yaitu mencantumkan simbol-simbol tertentu pada punggung buku. Simbol berwarna hitam itu menunjukkan isi buku atau novel yang diwakilinya.
Simbol pistol, misalnya, berarti buku tersebut berisi cerita detektif atau polisi. Sementara simbol siluet bangku taman dan pohon melambangkan isi buku yang santai dan cenderung ringan.
Sejak berdirinya di tahun 1968, Yayasan Karta Pustaka selalu diasuh oleh para pengurus yang kebanyakan merupakan akademisi dari berbagai perguruan tinggi di Yogyakarta.
Saat ini kebanyakan pengguna jasa perpustakaan yang sebelumnya menempati kawasan Bintaran, Yogyakarta, tersebut berasal dari kalangan di bawah usia 25 tahun. Tidak sedikit pula peneliti yang memerlukan dan mendapatkan referensi pustaka dari koleksi di tempat tersebut.
Selain perpustakaan, Yayasan Karta Pustaka juga aktif dalam berbagai kegiatan kebudayaan. Misalnya pemutaran dan diskusi film, event kebudayaan, serta kegiatan belajar Bahasa Belanda. (Niti Bayu Indrakrista)
Anda sedang membaca artikel tentang
Memelihara Potret Budaya Nusantara Karya Cendekia Belanda
Dengan url
http://jogyamalioboro.blogspot.com/2014/02/memelihara-potret-budaya-nusantara.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Memelihara Potret Budaya Nusantara Karya Cendekia Belanda
namun jangan lupa untuk meletakkan link
Memelihara Potret Budaya Nusantara Karya Cendekia Belanda
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar