TRIBUNJOGJA.COM, YOGYA - Pelaksanaan sidang kasus penyerangan LP Cebongan di Pengadilan Militer II - 11 Yogyakarta Kamis (20/6) lalu dianggap cukup terbuka. Namun, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Yogyakarta, Andi Suryo Awaludin SH juga memiliki catatan tersendiri berdasarkan monitoringnya dalam sidang itu. Dia menyebut, sidang itu seperti tragedi memilukan.
Selain suasana gaduh kerap terdengar di luar ruang sidang, dakwaan Oditur menurutnya terkesan tidak serius. Dakwaan Oditur sebagai jaksa, menurutnya, tidak fokus. Pasal pembunuhan berencana, yaitu 340 KUHP memiliki ancaman pidana tinggi. Namun oleh Oditur masih dibubuhkan pasal penganiyaaan 351 KUHP dan pasal pengeroyokan 170 KUHP yang ancaman pidananya rendah.
Dengan demikian, dia menduga target Oditur adalah agar para terdakwa dipidana dengan hukuman ringan. Padahal, menurutnya, tujuan sanksi pidana untuk memberikan efek jera pada pelaku dan memberian rasa keadilan pada korban.
PBHI juga menilai Oditur Militer dalam dakwaan terkesan mendiskreditkan korban dengan menyebutnya sebagai kelompok preman. Disayangkan pula, pemakaian istilah itu tanpa ada penjelasan definisi hukum arti preman dan pembuktiannya. Hal itu menurutnya berarti mewacanakan pembenaran praktik penghilangan paksa nyawa orang, atau extra judicial killing sebagaimana diduga dilakukan 12 terdakwa anggota Kopassus.
Lepas dari materi dakwaan, Andi mengatakan, dari sisi pengamanan pun persidangan itu terkesan gaduh. Andi berkomentar atas kegaduhan dan suasana terkesan ribut di Pengadilan Militer Yogyakarta selama persidangan, sesuai monitoringnya. Menurutnya, TNI maupun Polri telah gagal menjaga kewibawaan dan kehormatan negara.
Sebagaimana pengamatannya, di Dilmil itu banyak milisi yang membuat kegaduhan, baik di dalam maupun di luar gedung. Itu menurutnya bentuk tindakan contemp of court atau penghinaan pada pengadilan. Selain itu, sikap tidak semestinya juga terlihat saat massa mengintimidasi petugas negara dari Komnas HAM. Beberapa anggota ormas bahkan mencaci maki rombongan Komnas HAM dengan kata-kata kasar.
"Mobil rombongan Komnas HAM digebrak, sehingga sangat ironis di Kota Yogyakarta yang dikenal santun dan berbudaya terjadi hal demikian," kata Andi, Jumat (21/6/2013).
Andi menegaskan, hal semacam itu, disebutnya penodaan kewibawaan dan kehormatan negara, tidak akan terjadi jika polisi dan TNI mengoptimalkan perannya. Dia meyakini sebenarnya polisi dan TNI dapat mencegah atau meredam semua itu.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, Samsudin Nurseha pun berkomentar serupa. Aparat menurutnya belum melaksanakan pengamanan sebagaimana fungsinya. Hal itu terlihat salah satunya saat sidang justru Polri berada di luar komplek gedung Dilmil. Sementara, pengamanan di dalam selain oleh TNI justru dilakukan ormas.
"Selama keberadaan ormas itu tidak mengganggu tidak masalah. Tapi terpenting perlu dicermati di mana fungsi tugas Polri," kata Nurseha.
Tugas keamanan selain oleh TNI dan Polri menurutnya boleh saja dilakukan. Hanya, tentu hal itu tidak lalu mengambil alih fungsi Polri. Pasalnya, pengamanan tetap merupakan tugas atau prioritas Polri. Dengan demikian, hal-hal semacam kegaduhan tidak perlu terjadi, terlebih karena di pengadilan militer.
Anggota LPSK, Teguh Sudarsono juga mengatakan hal serupa. Menurutnya, mencermati kondisi dan situasi persidangan terkesan amburadul. Fokus yang muncul bukan tertuju pada bagaimana peran dan kerja TNI terhadap pengamanan sidang,
"Kondisi itu mestinya menggugah para pimpinan pemerintahan di pusat dan daerah, pimpinan dan anggota DPR RI dan lembaga hukum serta para aktivis LSM," katanya.(*)
Anda sedang membaca artikel tentang
PBHI: Sidang Kasus Cebongan Tragedi Memilukan
Dengan url
http://jogyamalioboro.blogspot.com/2013/06/pbhi-sidang-kasus-cebongan-tragedi.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
PBHI: Sidang Kasus Cebongan Tragedi Memilukan
namun jangan lupa untuk meletakkan link
PBHI: Sidang Kasus Cebongan Tragedi Memilukan
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar